KARENA DIKSI
sebagai petapeta yang dilukis menghamburkan jejak lama
dari riwayat sebuah ingatan
hingga waktu merapat ke titik nol
sampai dentingnya yang menggaung menjadi senyap lenyap
dalam sajak tak selesai
karena huruf membisu dalam rahim pertapaan
menumbuh tumbuh dalam diam dalam sunyi
memandang diri semakin asing
pada rambu rambu di jalanan pada buku buku dan kitab suci
layaknya puisi aneh yang ditulis dari arus deras mimpi
mengamuk tak tahu mau meloncatloncat tak tahu ingin menarinari tak tahu hendak
bolak balik kata berbolak balik menemu kembali kata yang sama mengulang ulang
baiklah siapkan saja pena deret leburkan kata bergumulah dalam frasa bersetubuhlah dalam kalimat baris dan bait sajak menelusur hingga mula, karena
jadi maka jadilah:
karena rona karena warna karena nuansa karena biru karena hitam karena jingga
karena waktu karena senja karena petang karena malam karena fajar karena detik karena jam karena hari karena minggu karena bulan karena musim karena tahun karena windu karena abad karena purba
karena moyang karena kanak
karena cakrawala karena angkasa karena lazuardi karena langit karena udara
karena bumi karena gunung karena tanah karena kerikil karena batu karena aspal karena debu
karena angin karena awan karena mendung karena matahari karena ufuk karena bulan karena bintang karena cahaya karena gerimis karena pelangi karena embun karena kabut karena bayang
karena air karena danau karena telaga karena alir karena sungai karena muara karena laut karena ombak karena gelombang karena arus karena ikan karena palung karena debur karena pantai karena pasir karena karang karena badai karena perahu karena layar karena kapal karena dermaga karena labuh
karena bening karena sepi karena sunyi karena lengang karena remang karena rembang
karena tangis karena airmata karena duka karena luka karena gundah karena resah karena gemetar karena gelisah karena cemas karena sedih karena marah karena dendam karena muak
karena tawa karena bahagia karena asa karena harap karena rahasia
karena deru karena gaung karena gema karena denting karena lengking karena dengking karena gemuruh karena derai karena bisik karena desah karena rintih
karena angan karena mimpi karena tualang karena kembara
karena api karena bara karena asap karena arang karena abu
karena pohon karena dahan karena ranting karena akar karena daun karena bunga karena putik karena mawar karena kamboja karena kelopak
karena rumput karena ilalang karena semak karena perdu
karena kupu karena burung karena camar karena merpati
karena anggur karena apel
karena tatap karena cakap
karena mata karena alis karena jemari karena wajah karena rambut karena dada karena jantung karena hati karena darah karena nadi
karena beranda karena kisi karena tingkap karena jendela
karena aku karena engkau karena dia karena kita
karena cinta karena rindu karena sayang karena birahi karena mabuk
karena abadi karena kekal
karena Kekasih
karena Mu
Depok, 1 Mei 2003
KODE URBAN SAAT JALAN MACET
bola-bola lampu dari tangan edisson menggelembungkan pikiran yang bersilangan antara kabel kabel listrik telepon televisi di gedung gedung bertingkat condomunium apartement hotel pubs discotique mall plaza café serta jalan jalan riuh ramai suara klakson di bundaran yang macet karena pawai pulang orang sehabis demonstrasi pukul 18.05 seperti tertera dalam handphone yang tak pernah dimatikan dan bipnya mengingatkan
agenda malam ini: berjumpa para relasi membicarakan proposal tender proyek membangun perkampungan kumuh dan pasar yang terbakar
antara deru mesin serta teriakkan kondektur bis sempritan tukang parkir gemuruh bajaj dan sepeda motor yang menyelip meraung naik hingga trotoar karena tak ada ruang kosong lagi di jalanan yang macet penuh suara-suara dan slogan seperti tertulis dalam spanduk billboard baliho memamerkan citra rasa selera ekslusif juga kemudahan
seperti juga junk food yang ditawarkan para fast food franchise: ingat anda tak perlu membayar cash asal credit card masih valid siap tersedia melayani anda juga di saat terjebak dalam kemacetan seperti ini tekan saja nomor costumer service akan segera dikirimkan sampai ke mobil anda box-box pizza, fried chicken, beef burger, spaghetti, atau apa saja yang anda inginkan jangan khawatir karena costumer satisfaction sangat diperhatikan
seperti juga ditawarkan neon sign: “body care centre yang memanjakan dengan mandi sauna lulur spa potongan lalu pijatan yang akan menyegarkan kembali rasa penat anda setelah seharian beraktivitas.”
(handphone bergetar dari earphone terdengar desah merdu di telinga: “……. pertemuan dengan bapak ditunda. tak jadi malam ini..…)
Mei, 2003
SINTAKSIS TEKA TEKI
bagi: scb
adakah kuda yang tak kuda adakah daku yang tak daku adakah duka yang tak duka tak kudakah kuda yang ada tak dakukah daku yang ada tak dukakah duka yang ada takkah kuda kuda yang ada takkah daku daku yang ada takkah duka duka yang ada kudakah kuda yang tak ada dakukah daku yang tak ada dukakah duka yang tak ada ada kudakah yang tak kuda ada dakukah yang tak daku ada dukakah yang tak duka yang tak kuda adakah kuda yang tak daku adakah daku yang tak duka adakah duka kuda adakah yang tak kuda daku adakah yang tak daku duka adakah yang tak duka kuda kudakah yang tak ada daku dakukah yang tak ada duka dukakah yang tak ada ada yang tak kudakah kuda ada yang tak dakukah daku ada yang tak dukakah duka
Depok, Mei 2003
SEPERTI TANGIS HAWA DI HARI PERTAMA
bagi: hasan aspahani
seperti tangis hawa di hari pertama adalah puisi yang sukar ditafsir adam. apa yang diinginkan perempuan, katamu bertanya. bukankah mereka telah dilarang untuk mendekati pohon itu. o apa yang diinginkan perempuan. tulang rusuk yang hilang apa yang sedang kau lakukan. mendendang suara seperti dengung. danau yang mengalir airnya. menderas. menderas. dan engkau menafsir apa arti tangis itu. seperti memakni puisi. karena tak kau tahu apa inginnya.
2 Mei 2003
DONGENG IKAN DI LAUT DALAM
seekor ikan dari palung terdalam di dasar laut yang tak pernah mengenal cahaya matahari yang mengerjap-ngerjap di permukaan di pucuk pucuk ombak adalah seekor ikan yang ribuan tahun ada di kedalaman dengan sisik tebal dengan mata buta dan dilahirkan seperti mamalia bukan menetas dari telur seperti burung-burung atau ikan-ikan lain yang berinsang karena memiliki paru-paru yang memompa udara dalam tubuhnya berputar-putar terus tak pernah habis dari tubuhnya kecuali suatu ketika ia akan mati seperti layaknya pertapa ia berdiam dalam gelap tak terkata hingga tubuhnya terselimut seperti karang diam tak bergerak menjaga kedalaman rahasia arus laut sebagai rahasia seperti puisi yang tak tahu hendak kau maknai karena tak pernah ada terlintas dalam benakmu ikan seperti itu ada di kedalaman sana
Mei, 2003
SEBUAH MANIFESTO DI BULAN MEI
sebuah manifesto di bulan mei mungkin akan menghentikan deru gemuruh ketika sebuah sekrup meloncat dari sebuah mesin karena kesadaran ingin menjadi manusia ingin jadi manusia sesungguhnya bukan sekedar sekrup bukan sekedar baut bukan sekedar ketel uap bukan sekedar roda bukan sekedar bagian dari mesin produksi yang tak punya hati
mungkin engkau akan menghentikan mulutmu mengunyah daging dan keringat darah pada burger yang kau santap
mungkin juga akan membuatmu merenung atau sekedar mengulang ritual berpawai di sepanjang jalan kota meneriakkan slogan dari ratusan tahun silam silam saat di bulan mei manifesto itu dibaca dan engkau adalah bagian dari hantu yang meresahkan di negeri-negeri utara
atau mungkin kau tak sempat mengingatnya karena kau adalah pengangguran yang tak pernah memiliki kesempatan untuk bekerja
Mei, 2003
EKSPERIMENTASI LIRIK
kabut menari sebagai bayang yang mencemaskan cuaca dan musim penghujan di saat rindu menjelma angin yang menderai mendesah ke arahmu irama purba nyanyian detik detik resah gelisahmu saat menunggu dalam bisik-bisik perdu ilalang pada daun rerumputan yang menerima embun dan gerimis dengan tulus sebagai reriap rambut yang menyerah pada bening hening percakapan menetes satu satu mengalir di lekuk pelupuk kelopak bunga mawar dan kamboja dalam warna-warna pelangi di dasar hatimu yang merahasia biru langit mimpi angan sesunyi danau selengang cakrawala lebih sepi dari batu yang diam tak isak tangis sedih menyimpan kembara dalam dada karena senja yang merapat ke malam menenggelamkan matahari dan menyemburatkan warna ungu jingga ke pucat bulan ke kerdip bintang sebagai gundah yang bikin gemetar karena lindap cahaya menyesatkan burung burung yang ingin pulang dan istirah seperti telah disesatkan tanya itu sebagai buah apel yang dimakan dengan penuh dendam mabuk birahi pada yang abadi karena pernah dicatat pada beranda yang menggaungkan tualang camar di antara buih gelombang dan badai yang hempas perahu kapal dengan ombak dan arusnya hingga suaramu adalah gema yang berdenting denting di antara lengking dan dengking mengetuk ngetuk jendela hatimu seperti dikabarkan jam jam yang mengumandangkan darah lewat nadi sebagai abad windu tahun bulan hari yang gemuruh menderu mematahkan ranting mencabut pohon dari akarnya menggugurkan putik dan buah hingga matamu menyimpan arang bara api yang segera menjadi abu harapmu demikianlah dikekalkan cintamu sebagai debu pada waktu
Mei, 2003
SAJAK YANG MENCAIR
sebuah sajak mencair seperti es krim yang lumer di terik matahari saat kau lumat dengan penuh nikmat dengan lidah menjulur julur hingga tetes terakhir dan kau tersenyum mencecap menyesap rasa manis yang tersisa di bibir dan lidahmu seperti manisnya kata-kata yang menyatakan cinta dan rindu demikian liris demikian lirih mendesah mencair dalam terik panas matahari dalam diri yang lidahnya menjilat-jilat tubuhmu penuh gairah mencecap menyesap seluruh kenangan dari dalam benak yang menyimpan lintasan-lintasan peristiwa sebagai sajak yang mencair dan mengalir di alir sungai tubuhmu di nadi nadi darahmu ke muara hingga sampai di laut perjumpaan yang penuh ombak angin melayarkan kapal perahu sebagai kenangan kenangan menemu pelabuhan dermaga di mana disauhkan kesunyian dilabuhkan kesepian pada keriuhan pekik sibuk gemuruh waktu namun tak diduga rahasia arus yang memusar pada kedalaman palung dan patahan di dasar retakan yang mengguncang sebagai gempa menggoyang goyang diri hingga terasa terbang gamang mabuk dalam badai yang merobek layar mematahkan tiang hingga terlunta dirimu terlunta lunta diamuk gelombang hingga entah hingga bila sampai karam diri ke dasar lautan sajak yang mencair dicecap sesap bibir dan lidahnya hingga tetes terakhir
Mei, 2003
AKU DATANG JUGA, CHRIL
aku datang juga, chril. saat malam akan segera larut. namun pesta sudah usai. tinggal tersisa kursi, panggung kawat duri, lampu mati dan sampah berserak, lelambai spanduk. aku datang, menembus malam. menjadi penyair yang menanggungkan rindu pada ketidaksetiaan kata-kata.
aku datang juga, chril. tapi pesta telah habis. udara malam sepanjang jalan selatan jakarta telah habis kuhirup. depok-lentengagung-pasarminggu-pancoran-tebet-manggarai-cikini. aku menembus malam. aku menembus malam.
aku datang juga, chril. tapi acara pesta sudah dituntaskan. tinggal panggung berkawat duri, tinggal sumbu berasap dalam botol, tinggal sampah berserak, tinggal spanduk yang melambai-lambai. tersisa dari sebuah pesta. mengingat hari sekaratmu. meregang nyawa. dalam demam yang meninggi. jassin bilang, kau panggil-panggil: tuhan, tuhan…
aku datang juga, chril. memasuki gedong juang 45. mencari jejak-jejak ingatan yang mungkin tersisa dari menteng 31. malam ini, ruang depan serasa milikmu sendiri, cuma. tak berbagi. foto-foto ---engkau dengan rokok, engkau dengan “gajah”---, sebingkai besar sajak, lukisan, goresan tangan tanganmu, goresan tangan jassin, arsip berita berserak di lantai, buku-buku. aku memasuki lagi waktu lalu. memasuki hari-hari dikutukserapahi eros. menjadi penyair yang menembus malam. menjadi pejalan malam.
aku datang juga, chril. melintasi meja kerja bung hatta, melintasi panji-panji tentara pelajar, melintasi foto-foto bung karno, melintasi foto panglima besar sudirman, melintasi peta-peta pertempuran, melintasi lelaki mabuk, melintasi orang tertidur, melintasi orang berperlukan di dingin malam, melintasi diskusi orang ingin jadi presiden, melintasi malam dengan percakapan sana-sini. irmansyah kawanku bicara: “anastasia, cucu chairil, sudah menikah, punya anak satu dan evawani sering menggendongnya.”
aku datang juga, chril. melintasi malam. menembus malam. menembus dini hari….
26 April 2003 – 3 Mei 2003
SENJA DAN GERIMIS
ada yang ingin menulis puisi. tapi bukan tentang gerimis dan senja. karena gerimis mengingatkannya pada airmata. dan senja sebagai bayang kematian. dan ia tak ingin menjadi sentimentil dan redup memandang hidup. mengapa para penyair menyukai kesedihan? katanya suatu ketika. entah bertanya pada dirinya sendiri. entah memeta pada perjalanan panjang riwayat kata-kata. hidup demikian indah. demikian meriah. mengapa penyair menulis tentang kegelapan. dunia yang asing dan papa. tak henti ia bertanya. dan tak sebaris kata dituliskannya. karena ia tak mau gerimis dan senja tiba-tiba muncul dalam sajaknya. muncul dari mimpinya. muncul dari alam bawah sadarnya. gerimis yang mengingatkannya pada airmata. guguran daun. dan senja yang mendebarkan dadanya saat malam merenggut cahaya siang. tapi ia tak ingin dianggap cengeng. satu kata mulai ditulis: hidup. tapi dihapusnya kembali. ditulisnya lagi: harap. tapi dihapusnya lagi: semangat. dihapusnya lagi. ah, ia pun menyerah. lalu ditulisnya: gerimis airmata senja kematian……
Mei, 2003
sebagai petapeta yang dilukis menghamburkan jejak lama
dari riwayat sebuah ingatan
hingga waktu merapat ke titik nol
sampai dentingnya yang menggaung menjadi senyap lenyap
dalam sajak tak selesai
karena huruf membisu dalam rahim pertapaan
menumbuh tumbuh dalam diam dalam sunyi
memandang diri semakin asing
pada rambu rambu di jalanan pada buku buku dan kitab suci
layaknya puisi aneh yang ditulis dari arus deras mimpi
mengamuk tak tahu mau meloncatloncat tak tahu ingin menarinari tak tahu hendak
bolak balik kata berbolak balik menemu kembali kata yang sama mengulang ulang
baiklah siapkan saja pena deret leburkan kata bergumulah dalam frasa bersetubuhlah dalam kalimat baris dan bait sajak menelusur hingga mula, karena
jadi maka jadilah:
karena rona karena warna karena nuansa karena biru karena hitam karena jingga
karena waktu karena senja karena petang karena malam karena fajar karena detik karena jam karena hari karena minggu karena bulan karena musim karena tahun karena windu karena abad karena purba
karena moyang karena kanak
karena cakrawala karena angkasa karena lazuardi karena langit karena udara
karena bumi karena gunung karena tanah karena kerikil karena batu karena aspal karena debu
karena angin karena awan karena mendung karena matahari karena ufuk karena bulan karena bintang karena cahaya karena gerimis karena pelangi karena embun karena kabut karena bayang
karena air karena danau karena telaga karena alir karena sungai karena muara karena laut karena ombak karena gelombang karena arus karena ikan karena palung karena debur karena pantai karena pasir karena karang karena badai karena perahu karena layar karena kapal karena dermaga karena labuh
karena bening karena sepi karena sunyi karena lengang karena remang karena rembang
karena tangis karena airmata karena duka karena luka karena gundah karena resah karena gemetar karena gelisah karena cemas karena sedih karena marah karena dendam karena muak
karena tawa karena bahagia karena asa karena harap karena rahasia
karena deru karena gaung karena gema karena denting karena lengking karena dengking karena gemuruh karena derai karena bisik karena desah karena rintih
karena angan karena mimpi karena tualang karena kembara
karena api karena bara karena asap karena arang karena abu
karena pohon karena dahan karena ranting karena akar karena daun karena bunga karena putik karena mawar karena kamboja karena kelopak
karena rumput karena ilalang karena semak karena perdu
karena kupu karena burung karena camar karena merpati
karena anggur karena apel
karena tatap karena cakap
karena mata karena alis karena jemari karena wajah karena rambut karena dada karena jantung karena hati karena darah karena nadi
karena beranda karena kisi karena tingkap karena jendela
karena aku karena engkau karena dia karena kita
karena cinta karena rindu karena sayang karena birahi karena mabuk
karena abadi karena kekal
karena Kekasih
karena Mu
Depok, 1 Mei 2003
KODE URBAN SAAT JALAN MACET
bola-bola lampu dari tangan edisson menggelembungkan pikiran yang bersilangan antara kabel kabel listrik telepon televisi di gedung gedung bertingkat condomunium apartement hotel pubs discotique mall plaza café serta jalan jalan riuh ramai suara klakson di bundaran yang macet karena pawai pulang orang sehabis demonstrasi pukul 18.05 seperti tertera dalam handphone yang tak pernah dimatikan dan bipnya mengingatkan
agenda malam ini: berjumpa para relasi membicarakan proposal tender proyek membangun perkampungan kumuh dan pasar yang terbakar
antara deru mesin serta teriakkan kondektur bis sempritan tukang parkir gemuruh bajaj dan sepeda motor yang menyelip meraung naik hingga trotoar karena tak ada ruang kosong lagi di jalanan yang macet penuh suara-suara dan slogan seperti tertulis dalam spanduk billboard baliho memamerkan citra rasa selera ekslusif juga kemudahan
seperti juga junk food yang ditawarkan para fast food franchise: ingat anda tak perlu membayar cash asal credit card masih valid siap tersedia melayani anda juga di saat terjebak dalam kemacetan seperti ini tekan saja nomor costumer service akan segera dikirimkan sampai ke mobil anda box-box pizza, fried chicken, beef burger, spaghetti, atau apa saja yang anda inginkan jangan khawatir karena costumer satisfaction sangat diperhatikan
seperti juga ditawarkan neon sign: “body care centre yang memanjakan dengan mandi sauna lulur spa potongan lalu pijatan yang akan menyegarkan kembali rasa penat anda setelah seharian beraktivitas.”
(handphone bergetar dari earphone terdengar desah merdu di telinga: “……. pertemuan dengan bapak ditunda. tak jadi malam ini..…)
Mei, 2003
SINTAKSIS TEKA TEKI
bagi: scb
adakah kuda yang tak kuda adakah daku yang tak daku adakah duka yang tak duka tak kudakah kuda yang ada tak dakukah daku yang ada tak dukakah duka yang ada takkah kuda kuda yang ada takkah daku daku yang ada takkah duka duka yang ada kudakah kuda yang tak ada dakukah daku yang tak ada dukakah duka yang tak ada ada kudakah yang tak kuda ada dakukah yang tak daku ada dukakah yang tak duka yang tak kuda adakah kuda yang tak daku adakah daku yang tak duka adakah duka kuda adakah yang tak kuda daku adakah yang tak daku duka adakah yang tak duka kuda kudakah yang tak ada daku dakukah yang tak ada duka dukakah yang tak ada ada yang tak kudakah kuda ada yang tak dakukah daku ada yang tak dukakah duka
Depok, Mei 2003
SEPERTI TANGIS HAWA DI HARI PERTAMA
bagi: hasan aspahani
seperti tangis hawa di hari pertama adalah puisi yang sukar ditafsir adam. apa yang diinginkan perempuan, katamu bertanya. bukankah mereka telah dilarang untuk mendekati pohon itu. o apa yang diinginkan perempuan. tulang rusuk yang hilang apa yang sedang kau lakukan. mendendang suara seperti dengung. danau yang mengalir airnya. menderas. menderas. dan engkau menafsir apa arti tangis itu. seperti memakni puisi. karena tak kau tahu apa inginnya.
2 Mei 2003
DONGENG IKAN DI LAUT DALAM
seekor ikan dari palung terdalam di dasar laut yang tak pernah mengenal cahaya matahari yang mengerjap-ngerjap di permukaan di pucuk pucuk ombak adalah seekor ikan yang ribuan tahun ada di kedalaman dengan sisik tebal dengan mata buta dan dilahirkan seperti mamalia bukan menetas dari telur seperti burung-burung atau ikan-ikan lain yang berinsang karena memiliki paru-paru yang memompa udara dalam tubuhnya berputar-putar terus tak pernah habis dari tubuhnya kecuali suatu ketika ia akan mati seperti layaknya pertapa ia berdiam dalam gelap tak terkata hingga tubuhnya terselimut seperti karang diam tak bergerak menjaga kedalaman rahasia arus laut sebagai rahasia seperti puisi yang tak tahu hendak kau maknai karena tak pernah ada terlintas dalam benakmu ikan seperti itu ada di kedalaman sana
Mei, 2003
SEBUAH MANIFESTO DI BULAN MEI
sebuah manifesto di bulan mei mungkin akan menghentikan deru gemuruh ketika sebuah sekrup meloncat dari sebuah mesin karena kesadaran ingin menjadi manusia ingin jadi manusia sesungguhnya bukan sekedar sekrup bukan sekedar baut bukan sekedar ketel uap bukan sekedar roda bukan sekedar bagian dari mesin produksi yang tak punya hati
mungkin engkau akan menghentikan mulutmu mengunyah daging dan keringat darah pada burger yang kau santap
mungkin juga akan membuatmu merenung atau sekedar mengulang ritual berpawai di sepanjang jalan kota meneriakkan slogan dari ratusan tahun silam silam saat di bulan mei manifesto itu dibaca dan engkau adalah bagian dari hantu yang meresahkan di negeri-negeri utara
atau mungkin kau tak sempat mengingatnya karena kau adalah pengangguran yang tak pernah memiliki kesempatan untuk bekerja
Mei, 2003
EKSPERIMENTASI LIRIK
kabut menari sebagai bayang yang mencemaskan cuaca dan musim penghujan di saat rindu menjelma angin yang menderai mendesah ke arahmu irama purba nyanyian detik detik resah gelisahmu saat menunggu dalam bisik-bisik perdu ilalang pada daun rerumputan yang menerima embun dan gerimis dengan tulus sebagai reriap rambut yang menyerah pada bening hening percakapan menetes satu satu mengalir di lekuk pelupuk kelopak bunga mawar dan kamboja dalam warna-warna pelangi di dasar hatimu yang merahasia biru langit mimpi angan sesunyi danau selengang cakrawala lebih sepi dari batu yang diam tak isak tangis sedih menyimpan kembara dalam dada karena senja yang merapat ke malam menenggelamkan matahari dan menyemburatkan warna ungu jingga ke pucat bulan ke kerdip bintang sebagai gundah yang bikin gemetar karena lindap cahaya menyesatkan burung burung yang ingin pulang dan istirah seperti telah disesatkan tanya itu sebagai buah apel yang dimakan dengan penuh dendam mabuk birahi pada yang abadi karena pernah dicatat pada beranda yang menggaungkan tualang camar di antara buih gelombang dan badai yang hempas perahu kapal dengan ombak dan arusnya hingga suaramu adalah gema yang berdenting denting di antara lengking dan dengking mengetuk ngetuk jendela hatimu seperti dikabarkan jam jam yang mengumandangkan darah lewat nadi sebagai abad windu tahun bulan hari yang gemuruh menderu mematahkan ranting mencabut pohon dari akarnya menggugurkan putik dan buah hingga matamu menyimpan arang bara api yang segera menjadi abu harapmu demikianlah dikekalkan cintamu sebagai debu pada waktu
Mei, 2003
SAJAK YANG MENCAIR
sebuah sajak mencair seperti es krim yang lumer di terik matahari saat kau lumat dengan penuh nikmat dengan lidah menjulur julur hingga tetes terakhir dan kau tersenyum mencecap menyesap rasa manis yang tersisa di bibir dan lidahmu seperti manisnya kata-kata yang menyatakan cinta dan rindu demikian liris demikian lirih mendesah mencair dalam terik panas matahari dalam diri yang lidahnya menjilat-jilat tubuhmu penuh gairah mencecap menyesap seluruh kenangan dari dalam benak yang menyimpan lintasan-lintasan peristiwa sebagai sajak yang mencair dan mengalir di alir sungai tubuhmu di nadi nadi darahmu ke muara hingga sampai di laut perjumpaan yang penuh ombak angin melayarkan kapal perahu sebagai kenangan kenangan menemu pelabuhan dermaga di mana disauhkan kesunyian dilabuhkan kesepian pada keriuhan pekik sibuk gemuruh waktu namun tak diduga rahasia arus yang memusar pada kedalaman palung dan patahan di dasar retakan yang mengguncang sebagai gempa menggoyang goyang diri hingga terasa terbang gamang mabuk dalam badai yang merobek layar mematahkan tiang hingga terlunta dirimu terlunta lunta diamuk gelombang hingga entah hingga bila sampai karam diri ke dasar lautan sajak yang mencair dicecap sesap bibir dan lidahnya hingga tetes terakhir
Mei, 2003
AKU DATANG JUGA, CHRIL
aku datang juga, chril. saat malam akan segera larut. namun pesta sudah usai. tinggal tersisa kursi, panggung kawat duri, lampu mati dan sampah berserak, lelambai spanduk. aku datang, menembus malam. menjadi penyair yang menanggungkan rindu pada ketidaksetiaan kata-kata.
aku datang juga, chril. tapi pesta telah habis. udara malam sepanjang jalan selatan jakarta telah habis kuhirup. depok-lentengagung-pasarminggu-pancoran-tebet-manggarai-cikini. aku menembus malam. aku menembus malam.
aku datang juga, chril. tapi acara pesta sudah dituntaskan. tinggal panggung berkawat duri, tinggal sumbu berasap dalam botol, tinggal sampah berserak, tinggal spanduk yang melambai-lambai. tersisa dari sebuah pesta. mengingat hari sekaratmu. meregang nyawa. dalam demam yang meninggi. jassin bilang, kau panggil-panggil: tuhan, tuhan…
aku datang juga, chril. memasuki gedong juang 45. mencari jejak-jejak ingatan yang mungkin tersisa dari menteng 31. malam ini, ruang depan serasa milikmu sendiri, cuma. tak berbagi. foto-foto ---engkau dengan rokok, engkau dengan “gajah”---, sebingkai besar sajak, lukisan, goresan tangan tanganmu, goresan tangan jassin, arsip berita berserak di lantai, buku-buku. aku memasuki lagi waktu lalu. memasuki hari-hari dikutukserapahi eros. menjadi penyair yang menembus malam. menjadi pejalan malam.
aku datang juga, chril. melintasi meja kerja bung hatta, melintasi panji-panji tentara pelajar, melintasi foto-foto bung karno, melintasi foto panglima besar sudirman, melintasi peta-peta pertempuran, melintasi lelaki mabuk, melintasi orang tertidur, melintasi orang berperlukan di dingin malam, melintasi diskusi orang ingin jadi presiden, melintasi malam dengan percakapan sana-sini. irmansyah kawanku bicara: “anastasia, cucu chairil, sudah menikah, punya anak satu dan evawani sering menggendongnya.”
aku datang juga, chril. melintasi malam. menembus malam. menembus dini hari….
26 April 2003 – 3 Mei 2003
SENJA DAN GERIMIS
ada yang ingin menulis puisi. tapi bukan tentang gerimis dan senja. karena gerimis mengingatkannya pada airmata. dan senja sebagai bayang kematian. dan ia tak ingin menjadi sentimentil dan redup memandang hidup. mengapa para penyair menyukai kesedihan? katanya suatu ketika. entah bertanya pada dirinya sendiri. entah memeta pada perjalanan panjang riwayat kata-kata. hidup demikian indah. demikian meriah. mengapa penyair menulis tentang kegelapan. dunia yang asing dan papa. tak henti ia bertanya. dan tak sebaris kata dituliskannya. karena ia tak mau gerimis dan senja tiba-tiba muncul dalam sajaknya. muncul dari mimpinya. muncul dari alam bawah sadarnya. gerimis yang mengingatkannya pada airmata. guguran daun. dan senja yang mendebarkan dadanya saat malam merenggut cahaya siang. tapi ia tak ingin dianggap cengeng. satu kata mulai ditulis: hidup. tapi dihapusnya kembali. ditulisnya lagi: harap. tapi dihapusnya lagi: semangat. dihapusnya lagi. ah, ia pun menyerah. lalu ditulisnya: gerimis airmata senja kematian……
Mei, 2003
Comments
Post a Comment