JAKARTA—Pembacaan cerita pendek oleh Danarto di QB Book Store saat peluncuran Graffiti Imaji oleh Yayasan Multimedia Sastra pekan lalu adalah sebuah momen menarik buat para penulis yang selama ini cukup produktif di dalam situs internet. Terbitnya kumpulan cerita pendek—memuat 83 karya yang dipilih oleh Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugroho, dan Anna Siti Herdiyanti—ini menguatkan posisi karya sastra dalam dunia internet.
Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi alternatif media bagi seniman untuk berkarya. Tak heran, banyak situs yang kemudian bermunculan untuk mewadahi kreativitas para sastrawan. Salah satunya adalah www.cybersastra.net. Situs yang dibentuk oleh Yayasan Multimedia Sastra ini nyatanya mampu menjadi wadah yang memadai. Buktinya, telah dua buku diterbitkan oleh Yayasan Multimedia Sastra yang materinya diambil dari karya-karya yang disumbangkan seniman pada situs tersebut, baik berupa cerita pendek, puisi, maupun esei. Situs lain yang juga bergerak di bidang sastra bernama www.bumimanusia.or.id. Dari situs ini, telah dihasilkan beberapa karya tercetak antara lain antologi cerpen Puthut E.A yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci, dan Beatniks, puisi-puisi Nuruddin Asyhadie, dan Bumi Manusia 1: Ini ... Sirkus Senyum. Ini belum dihitung dengan terbitnya beberapa jurnal yang sebelumnya telah melewati sistem penyeleksian melalui editorial situs tersebut.
Para sastrawan yang cukup dikenal dan setia di dalam berproses pun, banyak yang sudah pernah terlibat di dalam pengukuhan karya-karya para sastrawan di dunia internet. Tak kurang beberapa nama seniman yang cukup lama dikenal, ikut mendukung fenomena sastra internet di media massa. Para penulis itu antara lain Eka Darma Putera, F. Rahardi, Meidy Lukito hingga Sobron Aidit.
Kontroversi
Walau sastra internet tak bisa dipandang sebagai genre karena tidak menghasilkan sebuah tradisi baru, tanpa perjuangan estetik (istilah yang digunakan penyair Ahmadun Yosi Herfanda), dan juga masih mengangkat nama-nama penyair lama di media cetak, antara lain Dorothea Rosa Herliany, Viddy AD, Aslan Abidin, Endang Supriadi, Gus tf Sakai, dan Cecep Syamsul Hari, tak dapat disangkal pula keberadaannya memunculkan pula nama-nama baru yang tengah berproses dan mulai menguat di dunia sastra maya itu.
Sementara itu, Ribut Wiyoto (penulis esei sastra) menanggapi dengan tajam. Menurutnya, sasatra internet adalah media yang terlalu mudah menerima naskah, tanpa memiliki kriteria yang jelas. Redaksi juga dipandangnya terlalu berkompromi dengan naskah-naskah yang masuk di dalamnya. Akibatnya, para penulis yang ada pun agak diragukan kualitasnya. Walau pemerhati sastra, Yaqin Saja, juga mengingatkan tentang situs lain yang tidak dicermati oleh Ribut–misalnya yang mengangkat karya Sitor Situmorang–tetapi kualitas karya memang harus jadi perhatian tersendiri bagi redaksi.
Jagat sastra Indonesia tampaknya membutuhkan sebuah isu kontroversial selain isu kelahiran para senimannya. Bila dulu muncul perdebatan tentang sastra Balai Pustaka atau bukan, Lekra atau Manifest, sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, genre prosa liris, sastra kontekstual lewat Arief Budiman dan Ariel Haryanto, mungkinkah isu ”kacangan” tentang sastra internet menjadi sebuah topik dan fenomena menarik?
Di sisi lain, selain kekurangan yang ada, media internet memang meruapkan sebuah alternatif terhadap tersumbatnya kebebasan kreatif mengenai kriteria sastra di dalam media massa. Di dalam pembicaraan SH dengan Nanang Suryadi dan Sutan Iwan Soekri Munaf, dipaparkan juga tentang kelebihan sastra internet yang antara lain ikut memberikan ruang baru terhadap definisi cerpen. Cerpen yang bisa hadir dalam bentuk ”sangat mini” atau ”sangat panjang”, itu berbeda dengan media massa yang punya syarat tegas tentang halaman cerpen yang memenuhi kriteria.
Intensitas yang jauh lebih dinamis dibanding media cetak merupakan kelebihan media internet. Media ini bisa menampung lebih banyak karya dibanding majalan, jurnal, atau koran yang hanya memuat beberapa karya saja dalam satu minggu.
Sastra internet adalah sebuah tradisi yang muncul di tengah perkembangan teknologi. Di Indonesia, atau di dunia, sastra internet bisa jadi merupakan sebuah tesis dan antitesis terhadap dinamisasi sastra. Tersumbatnya saluran eksistensi bagi generasi muda—yang terlihat dari minimnya kelahiran komunitas baca sastra, kantong kesenian, peluncuran antologi atau event lomba—membuat sastra internet adalah sebuah tawaran yang kemudian digandrungi. Apakah internet hanya melahirkan seniman yang instan, tak percaya diri dan tak teruji dalam persaingan? Perjalanan waktulah yang akan membuktikannya.
(SH/sihar ramses simatupang)
Sumber: Sinar Harapan
Comments
Post a Comment