Skip to main content

'Erotisme Religius' Sajak Nanang

Oleh: Ahmadun Yosie Herfanda

‘Erotisme religius’. Barangkali ini istilah yang aneh. Mungkinkah sesuatu yang erotis – yang sangat profan – bisa bercitra religius? Sulit untuk menjawab ya. Tapi, ketika membaca beberapa sajak Nanang Suryadi yang terkumpul dalam buku ini, sebutan ‘erotisme religius’ itu sulit untuk dihindari. Simaklah, misalnya, sajak Penari Telanjang berikut ini,

Menarilah engkau dengan telanjang
Di matamu matahari di matamu rembulan
Dan hujan berderaian dan bintang berpendaran
Berderaian pelangi dikibas ke kiri ke kanan

Menarilah engkau
Berputar menggeliat gelinjang
Hingga mengencang syahwat
Serindu-rindu akan wajah Kekasih
Ah rintih: Kau rinduku! Mabuk kepayangku pada-Mu!
Wajah-Mu! Tatap-Mu selalu!
Dan kau kelupas segala tabir rahasia
Hingga inti hingga tiada lagi jarak
Sirna dan tiada


Sajak di atas sangat menarik dan bisa mengundang rasa penasaran pembaca. Tanpa menulis ‘Kekasih’ dengan ‘K’ besar, dan tanpa menulis ‘Mu’ dengan ‘M’ besar, sajak di atas cenderung akan mengesankan keterpesonaan Nanang pada seorang penari telanjang yang sedang menari erotis sambil melepaskan busananya sehelai demi sehelai (Dan kau kelupas segala tabir rahasia). Suatu inti dan imaji yang sangat profan, dan getaran keindahan yang lebih dekat dengan getaran seksual.

Namun, dengan ‘K’ besar pada ‘Kekasih’ dan ‘M’ besar pada ‘Mu’ itu terjadi sublimasi (pengagungan) yang cukup luar biasa pada sajak tersebut. Citra yang semula profan menjadi demikian religius. Kesan kekaguman pada penari yang imanen terangkat menjadi keterpesonaan pada keagungan Tuhan yang transenden. Kerinduan yang semula sangat fisikal dan mengencang syahwat pun tersublimasi menjadi kerinduan yang transenden pada wajah Tuhan (wajah Kekasih), dan ini adalah kerinduan yang sangat sufistik, seperti kerinduan seorang Rumi atau Hamzah Fansuri pada-Nya.

Memang, dengan sublimasi, di tangan penyair sebutir pasir pun dapat menjelma sebutir intan yang mulia. Dan, sublimasi yang paling umum adalah menuliskan kata ‘Mu’ dengan ‘M’ besar pada baris-baris sajak yang mungkin saja semula yang dimaksud ‘mu’ dalam sajak itu adalah seseorang atau kekasih dalam arti fisikal – yang berada di dunia profan. Dengan cara ini, seorang penyair yang rindu bercinta dengan kekasihnya (kerinduan biologis) dengan mudah dapat menulis sajak sufistik hanya dengan menuliskan ‘Kekasih’ atau ‘Mu’ dengan huruf awal kapital.

Sublimasi semacam itu sempat diperdebatkan pada akhir dasawarsa 1980-an, ketika kecenderungan sajak sufistik sedang menguat di negeri ini dan sempat memunculkan istilah ‘religiusitas yang instan’. Namun, ketika yang disublimasikan adalah sesosok penari telanjang yang sedang menggelinjang erotis, maka citra religius yang muncul menjadi sangat menggelitik dan mengundang rasa penasaran. Dan, itulah misteri yang menjadi kekuatan terpenting sebagian sajak Nanang. Seperti pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono, puisi yang bagus (baca: indah), ibarat ‘sebiji kacang di balik kaca kristal’. Dari luar terlihat bahwa itu sebiji kacang, tapi tampak lebih indah, mungkin fantastik dan mempesona, seperti ada misteri, dari satu sisi seperti kembar, dari sudut pandang lain bisa tampak puluhan kacang, kadang-kadang samar atau gemebyar ketika ada pantulan cahaya dari luar. Sebiji kacang yang mempesona. Kacang itu adalah isi puisi, dan kaca kristal itu estetika puisi. Dan, ‘penari telanjang’ adalah biji kacang yang berhasil dibungkus Nanang dalam kaca kristal itu.

Tarian atau penari, agaknya, menjadi idiom penting sajak-sajak religius Nanang, dan ia berulang-ulang mengungkapkan keterpesonaan dan kemabukannya pada tarian Tuhan itu. Pada sajak Aku Gelandangan Mencari-Mu penyair yang menjadi motor Cybersastra.net ini juga mengulang idiom tersebut pada bait ketiga. Dan, citra ‘erotisme religius’ terpancar pada bait ini: Aku gelandangan terpesona tarian-Mu/ Membayang Engkau dengan birahi kepayang mabukku.

Pada sajak Mabuk Tarian yang terkesan agak lebih telanjang, Nanang bahkan tidak hanya terpesona, tapi mabuk tarian itu. Sajak ini seakan menjadi penegas bahwa yang dimaksud ‘penari’ dalam sajak-sajaknya adalah Tuhan Sang Mahapencipta.

Mabuk aku
Tarian-Mu memutar planet beterbangan
Mabuk aku
Tarian-Mu melesatkan bintang berpijaran
Mabuk aku
Tarian-Mu memusarkan galaksi beraturan
….


Kekuatan lain sajak-sajak Nanang dalam buku ini adalah getaran religiusitasnya yang sering terkesan sufistik. Kekuatan ini tidak hanya dapat dirasakan pada sajak-sajak yang ungkapan ‘kehadiran Tuhan’-nya (Mu, Engkau, Kekasih) ditulis dengan huruf awal kapital; tapi juga pada sajak-sajak yang baris-barisnya tanpa satupun huruf kapital. Pada sajak-sajak yang isyarat kehadiran Tuhannya (mu, engkau, kekasih), tidak ditulis dengan huruf awal kapital, misteri itu justru makin mempesona. Terutama, pada sajak-sajak yang tetap memanfaatkan keindahan ‘kaca kristal’ (style, poetika) untuk membungkus isinya. Pesona itu mencair ketika Nanang berlugas-lugas seperti pada sajak Mabuk Tarian di atas.

Lebih dari itu, masih banyak sisi menarik pada sajak-sajak Nanang yang layak untuk dibicarakan. Pengantar pendek ini tentu tidak dapat mengupas semuanya. Apalagi, puisi adalah sesuatu yang multi tafsir (multi-interpretable). Selain membuka kemungkinan banyak tafsir, ia – seperti pernah dikatakan A. Teeuw – juga membuka kemungkinan salah tafsir. Ada keyakinan – seperti berkali-kali dikemukakan Suminto A. Sayuti – bahwa kemungkinan tafsir puisi tergantung pada kekayaan intelektual pembaca. Semakin kaya pengetahuan pembaca akan makin dapat memberikan tafsir yang kaya pula pada puisi. Dan, itu pula yang dapat diberikan pada sajak-sajak Nanang yang umumnya memang kaya isyarat religiusitas.

Selain itu, puisi yang bagus diyakini akan mampu berdialog sendiri dengan pembacanya tanpa bantuan pengantar apapun dari kritisi sastra. Maka, Andalah, pembaca, yang paling berhak untuk menikmati, berdialog langsung, sekaligus memberi tafsir yang lebih kaya pada sajak-sajak Nanang dalam kumpulan ini.***

Comments

Popular posts from this blog

Aku Merindukanmu

aku merindukanmu, tapi jarak dan waktu mengurungku o mata, siapa simpan kesedihan di situ, dalam bening sedu sedan tertahan, dalam dada aku merindukanmu, kau harus percaya itu seperti kau tahu, yang merindu menunggu saat memburu tuju!

Contoh Puisi Post modern dan Post colonial

DONGENG HANTU DI KOTA SAJAK Buat: penyair w hantu telah meledakkan mimpi kota kota di malam malam panjang mengerikan sebagai teror yang dicipta dalam koran dan televisi dan film holywood di mana tak ada rambo atau james bond yang mampu mencegahnya karena kesumat telah menjadi seamuk mayat yang dibangkitkan dari kuburnya dengan dendam dan belatung dari borok luka yang penuh darah dan nanah gentayangan menghampiri sajak yang penuh kegelapan bahasa yang telah menjadi sulapan dari dunia kegelapan menghantuimu dengan mulut mulut nganga berbau busuk propaganda tak henti henti dari botol botol minuman impor berlabel franchise formula dan resep paha ayam bumbu tepung menyerbu lambung kanak kanakmu sebagai sampah yang dilesakan ke dalam lapar negara negara dunia ketiga yang mabuk bahasa iklan dan ekstasi yang menjungkirbalikan kepala hingga di bawah telapak kaki para monster yang telah menciptakan frankenstein dan domba dolly berkepala manusia di pesta pora membunuh angka angka data statistik

Puisi Terbaik di Indonesia

"Puisi Terbaik di Indonesia" , saya memberi judul tulisan ini. Mengapa tulisan ini harus diberi judul "Puisi Terbaik di Indonesia?" Saya tergelitik dengan hasil pencarian di google.com yang menunjukkan hasil yang membuat saya tertawa, karena ternyata banyak orang mencari puisi dengan keyword: "Puisi Terbaik"; "Puisi Bagus"; "Blog Puisi Bagus" ; "Kumpulan Puisi Terbaik" ; "Contoh Puisi bla...bla...bla..." dan seterusnya. Saya ingin iseng-iseng menulis dengan judul: " PUISI TERBAIK DI INDONESIA ," sebagai judul tulisan ini. Siapa tahu, anda pun akan tertawa bersama saya, setelah mengklik tulisan berjudul "Puisi terbaik di Indonesia" ini dari halaman satu google. Hidup Puisi Terbaik di Indonesia ! Hehehehe. Kena deh! Jika ingin baca puisi saya, sila ditengok juga: Puisi Universitas Brawijaya  Nanang Suryadi Lecture UB Web Nanang Suryadi