Oleh: Cunong Nunuk Suraja
Membaca judul buku kumpulan puisi Nanang, selintas kita sudah terikat pada kata "sepilihan", sebuah kata yang mengisyaratkan adanya kesatuan atau jumlah satu. Barangkali saja penyair akan mempunyai dua atau sekian pilihan. Penggunaan kata yang menabrak kaidah bahasa Indonesia ini akan kita jumpai dalam 100 sajak Nanang yang terpilih dalam buku puisi ini. Nanang sangat suka mengerjai kata dalam sajak-sajaknya dan ini merupakan hak penyair yang dikenal dengan poetic license. Untuk sekadar contoh, kita simak puisi-puisi berikut.
terjemah kehendak, pada langit luas
…………………………………………
mungkin cuma gurau melupa duka, karena
…………………………………………
berabad telah lewat, apa yang ingin
didusta? pada bening mata
(Sajak “Intro”)
Dalam darah buncah meruah gelombangkan gelisah kalut
Seperti laut dalam tatapmu memagut. Demikian gairah meniada rasa takut
………………………………………
Ada ruang kosong. Keheningan. Jika engkau demikian lelah. Masuklah.
Ada ruang sepi. Menemu diri sendiri. Menemu arti di balik bunyi di
balik sunyi.
Tapi engkau di situ. Ingin melebur amarah. Hingga remah. Dalam api.
Mempuing jadi.
(Sajak “Dalam Sajak”)
Sebagai cakrawalaharapku, lengkung alis matamu
Binar mata, berkas bintang-bintang mencahaya, demikian rindu
(Sajak “Yang Menyimpan Rindu”)
seperti kuseka malam dari pipimu, mungkin tak dicatat, tapi sebuah
ingatan,
tentang bola mata, melari
(Sajak “Seperti Kuseka Malam”)
malam telahkah demikian larut, dalam anganmu
dimana cermin diletak, wajah masai tak tampak
(Sajak “Seorang yang Melihat Sepi”)
demikian jeram dan matamu ingin dipejam
(Sajak “Tari Bulan”)
kemana akan pergi
menujumu atau menemu kesunyian kembali
(Sajak “Catatan May”)
Di bening mata, arus demikian deras
Di dasar memusar
(Sajak “Namun Engkau”)
Siapa berlari dari pasti, tuan, kata seseorang menyapa
Seperti tak ditahu kemarau meranggaskan dada
(Sajak “Cahaya Kemarau Kabut”)
……………………………………
……………………Airmata mengalir
menyungai menganak pinakmencari muara. Melautlah kesedihan.
Melautlah!
……………………………………
……………………………………
Airmata mengalir menyungai menganak pinakmencari muara. Melautlah
kesedihan. Melautlah!
(Sajak “Dongeng Impian yang Dihancurkan”)
Bayang datang sebagai kenang dari lampau yang mengekal
(Sajak “Bayang”)
seseorang melayarkan pikiran, pada sungai yang deras, laut
bergelombang, badai angina, ia menemu carut marut, luka nganga
(Sajak “Dongeng Keledai”)
……………………………………
habisnya huruf dideret dileburkan dalam darah dalam airmata dalam
dalam
(Sajak “Berhentilah!”)
Sepilihan 100 puisi diawali dengan “Intro” dan ditutup dengan “Epilog”. Nanang yang lahir di Pulomerak 30 tahun yang lalu telah mengumpulkan sajak-sajaknya di beberapa buku kumpulan bersama maupun kumpulan sendiri (14 antologi bersama penyair lain dan 4 buku pribadi). Itu masih ditambah dengan sajak-sajaknya yang tertebar di dunia maya atau cyber karena Nanang banyak bergerak di dunia maya atau pengguna jasa internet.
Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi. Untuk memulai dialog dipilihkan sajak andalan atau sajak sampul karena digunakan sebagai judul buku.
Telah Dialamatkan padamu
telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam
pada pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran
kemana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik
kertas terselip: aku merindukanmu
ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin
diledakan di dadaku, ke dalam otakku
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga
makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
Dari penanggap yang tercetak di kulit buku, terutama pengantar buku puisi Nanang, AhmadunYosi Herfanda dengan mendasarkan sajak “Penari Telanjang” bernafaskan religius yang erotis (Widodo Arumdono, Donny Anggoro) selain penuh cahaya dan mengalir bagai air (Ben Abel, Kurnia Effendi). Dan ini tampak pada sajak-sajak yang mengisyaratkan kedekatan pada Yang Maha Segala sebagaimana upaya hamba-Nya mencoba menyapa dengan rintihan, bahkan kadang dengan tangisan dalam gelisah mencari makna cinta: ke mana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas terselip: aku merindukanmu
terjemah kehendak, pada langit luas
atau gelombang berdentaman, dalam dada
(Sajak “Intro”)
Demikian, sunyi tak terbagi
Milikmu sendiri
(Sajak “Epilog”)
Tapi kau tetap sebuah sunyi
Menyimpan rahasiamu sendiri
(Sajak “Kau Katakan Mengenali Jejak”)
aku merindukanmu, katamu, pada hari yang senyap, tak ada bunyi
memecah dinihari, pagi dimana gelisahku sampai pada wajahmu. puisi
(Sajak “Perempuan Pagi Berwajah Puisi”)
Subagio Sastrowardoyo (1980) menyatakan bahwa Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak. Lihatlah sajak-sajak:
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga
makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
(Sajak “Telah Dialamatkan padamu”)
tak henti-henti ditanya diri
………………………………
………………………………
terlalu lama aku berdiam diri
(Sajak “Catatan May”)
kau gigil menatap arah tak tentu angin berputar cuaca begantian arah
tuju.
aku
(Sajak “Tik Tak Tik Tak: 01:05”)
di rumah sendiri, di tubuh sendiri, sedekat nadi, dalam nadi
kucari-cari: diri dimana diri
(Sajak “Tak Sampai?”)
Ke dalam diri ke luar diri
Menembus batas segala mimpi
(Sajak “Epilog”)
di garis tangan, di peta langit, di alis matamu
o manusia, dimana kau tahu segala diri
(Sajak “- - - ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ”)
Sajak-sajak Nanang cukup beragam warna pribadi, untuk tidak menyebut pengaruh penyair yang lebih dahulu menggunakan daya ungkap khususnya semisal Sutarji C.B., Sapardi D.D., Goenawan M., Hamzah F., Afrizal M., maupun Rendra. Keseringan kita berdialog dengan pribadi sajak penyair yang dahulu sering menimbulkan resonansi atau getaran pada pemunculan pemilihan kata dan daya ungkap. Tetapi, Nanang mempunyai gaya ungkap dengan mengulang kata, frase, bahkan kalimat yang sama untuk memberikan kesan keberuntunan atau kontinuitas semacam gaung atau gema yang menjadikan sajaknya bersuara mengaung-ngaung. Kita lihat kutipan beberapa sajak itu.
Mabuk aku
Tarian-Mu memutar planet beterbangan
Mabuk aku
Tarian-Mu melesatkan bintang berpijaran
Mabuk aku
Tarian-Mu mumasarkan galaksi beraturan
Mabuk aku
Tarian-Mu meliukkan semest berputaran
Mabuk aku
Dalam tarian-Mu tersungkur aku bertanyaan
(Sajak “Mabuk Tarian”)
dibakar-bakar sepi, diamuk api
diri merangka, puing menjadi
"embunlah! embunlah!"
………………………………
kau kira! kau kira!
(Sajak “Sepi yang Membakar”)
kita berjalan tanpa bertanya-tanya lagi, …………
………………………………
kita berjalan, tanpa bertanya-tanya lagi, dimana tepi, dimana sepi
(Sajak “Kita Berjalan”)
Engkau ditikam sepi, engkau ditikam rindu, engkau ditikam
……………………………
Menggeliatlah menggeliatlah hingga kembali pada titi: mula-mula
(Sajak “Demikianlah Ia Berbahagia”)
setiap senja, setiap senja
(Sajak “Memandang Senja”)
wajahmu! wajahmu!
………………………
………………………
dalam dada! dalam dada!
(Sajak “Kenang”)
……………………………
Di padang padang buru di tebing tebing cuaca
(Sajak “Epilog”)
………………………………
Ingatan yang tak kikis habis, di badai-badai sampai, di terik-terik
Matahari
(Sajak “Menemu Pukau Rinduku”)
………………………………
melindaplindap cahaya di jauh jauh pandang
(Sajak “Gapai”)
Ketersinggungan kreatif Nanang dalam proses memuisi atau menyajak memunculkan sikap sajak yang bersih dan tanpa bayang daya ungkap pendahulunya yang justru menunjukkan sajak asli Nanang. Sayang, Nanang karena kurang intensitas pada penggalian diri, bahkan lebih tampak menggali sajak penyair lain dengan cara lewat short message service (SMS), chatting di dunia maya, dan rajin memantau mailing list dan situs-situs yang bertebaran aroma sastra. Sajak Nanang yang berdaya ungkap pribadi tampak pada pengulangan kata atau frasa maupun kalimat.
Coba simak sajak-sajak dengan judul “Kita Berjalan”, “Bebuahan Cahaya”, "Sketsa Peta Tak Bernama”, “Inilah Hujan di Saat Senja”, “Imaji yang Betanggalan”, “Black Hole”, “Memory pada Sebuah Jalan”, “Seperti Sebuah Risau”, “Mungkin Kau adalah Angin”, “Seorang yang Merangkai Bunga”, “Seperti Kuseka Malam”, “Perempuan yang Bernama Kesangsian”, “Jam yang Menyerpih”, “Sebagai Upacara”, “Mencintaimu adalah Mencintai Aliran Air tak Henti Mengalir”, dan “Seperti Engkau yang Gemetar”.
Selain sajak yang berhasil mempribadi dengan mengesampingkan pengaruh luar pribadi Nanang juga ditemukan sajak yang boleh dikatakan gagal atau belum terpoles karena proses kreatif Nanang tidak melewati editing atau bacaulang, bahkan lebih sering spontan dan instant. Nanang jarang mendaur-ulang sajak seperti yang dilakukan Ikra Negara, Chairil Anwar, maupun Subagio Sastrowordoyo yang menimbulkan beberapa versi sajak-sajaknya (baca Wahyu Wibowo (1984) dalam buku Menyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardoyo). Inilah sajak Nanang yang gagal menyarankan pikiran-pikirannya: “Dongeng Keledai”, “Berhentilah!”, “Yang Dibakar Api Murni”, dan “=Aiueo? Kosa Kata =”.
Beberapa sajak dengan judul yang unik, seperti “- - - ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ”, Symphony No. 40 in G Minor”, “23.30”, “Tik Tak Tik Tak: 01:05”, “Black Hole”, “Cahaya Kemarau Kabut”, dan “=Aiueo? Kosa Kata =”.
Seperti Nanang sedang mencari daya ungkap lewat judul sajak, Cuma akhirnya mengurangi daya saran dan kekhasan Nanang. Sajaknya menjadi abu-abu bahkan gelap selayaknya gaya sajak Goenawan yang katanya sajak gelap, tetapi hanya terbatas pada judul saja kalau tidak mau dikatakan bermain-main.
Sebagai penutup kita baca sajak yang cukup mengesankan:
Epilog
Sempurnalah sempurna segala ingin
Di ambang surup matahari mendingin
Demikian, sunyi tak terbagi
Milikmu sendiri.
Boo/febawal/03
Membaca judul buku kumpulan puisi Nanang, selintas kita sudah terikat pada kata "sepilihan", sebuah kata yang mengisyaratkan adanya kesatuan atau jumlah satu. Barangkali saja penyair akan mempunyai dua atau sekian pilihan. Penggunaan kata yang menabrak kaidah bahasa Indonesia ini akan kita jumpai dalam 100 sajak Nanang yang terpilih dalam buku puisi ini. Nanang sangat suka mengerjai kata dalam sajak-sajaknya dan ini merupakan hak penyair yang dikenal dengan poetic license. Untuk sekadar contoh, kita simak puisi-puisi berikut.
terjemah kehendak, pada langit luas
…………………………………………
mungkin cuma gurau melupa duka, karena
…………………………………………
berabad telah lewat, apa yang ingin
didusta? pada bening mata
(Sajak “Intro”)
Dalam darah buncah meruah gelombangkan gelisah kalut
Seperti laut dalam tatapmu memagut. Demikian gairah meniada rasa takut
………………………………………
Ada ruang kosong. Keheningan. Jika engkau demikian lelah. Masuklah.
Ada ruang sepi. Menemu diri sendiri. Menemu arti di balik bunyi di
balik sunyi.
Tapi engkau di situ. Ingin melebur amarah. Hingga remah. Dalam api.
Mempuing jadi.
(Sajak “Dalam Sajak”)
Sebagai cakrawalaharapku, lengkung alis matamu
Binar mata, berkas bintang-bintang mencahaya, demikian rindu
(Sajak “Yang Menyimpan Rindu”)
seperti kuseka malam dari pipimu, mungkin tak dicatat, tapi sebuah
ingatan,
tentang bola mata, melari
(Sajak “Seperti Kuseka Malam”)
malam telahkah demikian larut, dalam anganmu
dimana cermin diletak, wajah masai tak tampak
(Sajak “Seorang yang Melihat Sepi”)
demikian jeram dan matamu ingin dipejam
(Sajak “Tari Bulan”)
kemana akan pergi
menujumu atau menemu kesunyian kembali
(Sajak “Catatan May”)
Di bening mata, arus demikian deras
Di dasar memusar
(Sajak “Namun Engkau”)
Siapa berlari dari pasti, tuan, kata seseorang menyapa
Seperti tak ditahu kemarau meranggaskan dada
(Sajak “Cahaya Kemarau Kabut”)
……………………………………
……………………Airmata mengalir
menyungai menganak pinakmencari muara. Melautlah kesedihan.
Melautlah!
……………………………………
……………………………………
Airmata mengalir menyungai menganak pinakmencari muara. Melautlah
kesedihan. Melautlah!
(Sajak “Dongeng Impian yang Dihancurkan”)
Bayang datang sebagai kenang dari lampau yang mengekal
(Sajak “Bayang”)
seseorang melayarkan pikiran, pada sungai yang deras, laut
bergelombang, badai angina, ia menemu carut marut, luka nganga
(Sajak “Dongeng Keledai”)
……………………………………
habisnya huruf dideret dileburkan dalam darah dalam airmata dalam
dalam
(Sajak “Berhentilah!”)
Sepilihan 100 puisi diawali dengan “Intro” dan ditutup dengan “Epilog”. Nanang yang lahir di Pulomerak 30 tahun yang lalu telah mengumpulkan sajak-sajaknya di beberapa buku kumpulan bersama maupun kumpulan sendiri (14 antologi bersama penyair lain dan 4 buku pribadi). Itu masih ditambah dengan sajak-sajaknya yang tertebar di dunia maya atau cyber karena Nanang banyak bergerak di dunia maya atau pengguna jasa internet.
Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi. Untuk memulai dialog dipilihkan sajak andalan atau sajak sampul karena digunakan sebagai judul buku.
Telah Dialamatkan padamu
telah dialamatkan padamu sunyi lelaki, membaca huruf timbul tenggelam
pada pelupuk, tak dilupa juga peristiwa demi peristiwa, berguliran
kemana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik
kertas terselip: aku merindukanmu
ah, omong kosong apalagi yang akan kutuliskan? seperti ada yang ingin
diledakan di dadaku, ke dalam otakku
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga
makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
Dari penanggap yang tercetak di kulit buku, terutama pengantar buku puisi Nanang, AhmadunYosi Herfanda dengan mendasarkan sajak “Penari Telanjang” bernafaskan religius yang erotis (Widodo Arumdono, Donny Anggoro) selain penuh cahaya dan mengalir bagai air (Ben Abel, Kurnia Effendi). Dan ini tampak pada sajak-sajak yang mengisyaratkan kedekatan pada Yang Maha Segala sebagaimana upaya hamba-Nya mencoba menyapa dengan rintihan, bahkan kadang dengan tangisan dalam gelisah mencari makna cinta: ke mana kita akan sampai, buku-buku terlipat, goresan tangan, secarik kertas terselip: aku merindukanmu
terjemah kehendak, pada langit luas
atau gelombang berdentaman, dalam dada
(Sajak “Intro”)
Demikian, sunyi tak terbagi
Milikmu sendiri
(Sajak “Epilog”)
Tapi kau tetap sebuah sunyi
Menyimpan rahasiamu sendiri
(Sajak “Kau Katakan Mengenali Jejak”)
aku merindukanmu, katamu, pada hari yang senyap, tak ada bunyi
memecah dinihari, pagi dimana gelisahku sampai pada wajahmu. puisi
(Sajak “Perempuan Pagi Berwajah Puisi”)
Subagio Sastrowardoyo (1980) menyatakan bahwa Penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putus menulis sajak. Lihatlah sajak-sajak:
telah dialamatkan padamu kata-kata, bahasa penuh gumam, mungkin juga
makian, karena diri tak bisa dipahami, diri!
(Sajak “Telah Dialamatkan padamu”)
tak henti-henti ditanya diri
………………………………
………………………………
terlalu lama aku berdiam diri
(Sajak “Catatan May”)
kau gigil menatap arah tak tentu angin berputar cuaca begantian arah
tuju.
aku
(Sajak “Tik Tak Tik Tak: 01:05”)
di rumah sendiri, di tubuh sendiri, sedekat nadi, dalam nadi
kucari-cari: diri dimana diri
(Sajak “Tak Sampai?”)
Ke dalam diri ke luar diri
Menembus batas segala mimpi
(Sajak “Epilog”)
di garis tangan, di peta langit, di alis matamu
o manusia, dimana kau tahu segala diri
(Sajak “- - - ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ”)
Sajak-sajak Nanang cukup beragam warna pribadi, untuk tidak menyebut pengaruh penyair yang lebih dahulu menggunakan daya ungkap khususnya semisal Sutarji C.B., Sapardi D.D., Goenawan M., Hamzah F., Afrizal M., maupun Rendra. Keseringan kita berdialog dengan pribadi sajak penyair yang dahulu sering menimbulkan resonansi atau getaran pada pemunculan pemilihan kata dan daya ungkap. Tetapi, Nanang mempunyai gaya ungkap dengan mengulang kata, frase, bahkan kalimat yang sama untuk memberikan kesan keberuntunan atau kontinuitas semacam gaung atau gema yang menjadikan sajaknya bersuara mengaung-ngaung. Kita lihat kutipan beberapa sajak itu.
Mabuk aku
Tarian-Mu memutar planet beterbangan
Mabuk aku
Tarian-Mu melesatkan bintang berpijaran
Mabuk aku
Tarian-Mu mumasarkan galaksi beraturan
Mabuk aku
Tarian-Mu meliukkan semest berputaran
Mabuk aku
Dalam tarian-Mu tersungkur aku bertanyaan
(Sajak “Mabuk Tarian”)
dibakar-bakar sepi, diamuk api
diri merangka, puing menjadi
"embunlah! embunlah!"
………………………………
kau kira! kau kira!
(Sajak “Sepi yang Membakar”)
kita berjalan tanpa bertanya-tanya lagi, …………
………………………………
kita berjalan, tanpa bertanya-tanya lagi, dimana tepi, dimana sepi
(Sajak “Kita Berjalan”)
Engkau ditikam sepi, engkau ditikam rindu, engkau ditikam
……………………………
Menggeliatlah menggeliatlah hingga kembali pada titi: mula-mula
(Sajak “Demikianlah Ia Berbahagia”)
setiap senja, setiap senja
(Sajak “Memandang Senja”)
wajahmu! wajahmu!
………………………
………………………
dalam dada! dalam dada!
(Sajak “Kenang”)
……………………………
Di padang padang buru di tebing tebing cuaca
(Sajak “Epilog”)
………………………………
Ingatan yang tak kikis habis, di badai-badai sampai, di terik-terik
Matahari
(Sajak “Menemu Pukau Rinduku”)
………………………………
melindaplindap cahaya di jauh jauh pandang
(Sajak “Gapai”)
Ketersinggungan kreatif Nanang dalam proses memuisi atau menyajak memunculkan sikap sajak yang bersih dan tanpa bayang daya ungkap pendahulunya yang justru menunjukkan sajak asli Nanang. Sayang, Nanang karena kurang intensitas pada penggalian diri, bahkan lebih tampak menggali sajak penyair lain dengan cara lewat short message service (SMS), chatting di dunia maya, dan rajin memantau mailing list dan situs-situs yang bertebaran aroma sastra. Sajak Nanang yang berdaya ungkap pribadi tampak pada pengulangan kata atau frasa maupun kalimat.
Coba simak sajak-sajak dengan judul “Kita Berjalan”, “Bebuahan Cahaya”, "Sketsa Peta Tak Bernama”, “Inilah Hujan di Saat Senja”, “Imaji yang Betanggalan”, “Black Hole”, “Memory pada Sebuah Jalan”, “Seperti Sebuah Risau”, “Mungkin Kau adalah Angin”, “Seorang yang Merangkai Bunga”, “Seperti Kuseka Malam”, “Perempuan yang Bernama Kesangsian”, “Jam yang Menyerpih”, “Sebagai Upacara”, “Mencintaimu adalah Mencintai Aliran Air tak Henti Mengalir”, dan “Seperti Engkau yang Gemetar”.
Selain sajak yang berhasil mempribadi dengan mengesampingkan pengaruh luar pribadi Nanang juga ditemukan sajak yang boleh dikatakan gagal atau belum terpoles karena proses kreatif Nanang tidak melewati editing atau bacaulang, bahkan lebih sering spontan dan instant. Nanang jarang mendaur-ulang sajak seperti yang dilakukan Ikra Negara, Chairil Anwar, maupun Subagio Sastrowordoyo yang menimbulkan beberapa versi sajak-sajaknya (baca Wahyu Wibowo (1984) dalam buku Menyingkap Dunia Kepenyairan Subagio Sastrowardoyo). Inilah sajak Nanang yang gagal menyarankan pikiran-pikirannya: “Dongeng Keledai”, “Berhentilah!”, “Yang Dibakar Api Murni”, dan “=Aiueo? Kosa Kata =”.
Beberapa sajak dengan judul yang unik, seperti “- - - ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ”, Symphony No. 40 in G Minor”, “23.30”, “Tik Tak Tik Tak: 01:05”, “Black Hole”, “Cahaya Kemarau Kabut”, dan “=Aiueo? Kosa Kata =”.
Seperti Nanang sedang mencari daya ungkap lewat judul sajak, Cuma akhirnya mengurangi daya saran dan kekhasan Nanang. Sajaknya menjadi abu-abu bahkan gelap selayaknya gaya sajak Goenawan yang katanya sajak gelap, tetapi hanya terbatas pada judul saja kalau tidak mau dikatakan bermain-main.
Sebagai penutup kita baca sajak yang cukup mengesankan:
Epilog
Sempurnalah sempurna segala ingin
Di ambang surup matahari mendingin
Demikian, sunyi tak terbagi
Milikmu sendiri.
Boo/febawal/03
Comments
Post a Comment