Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2003

Puisi Tentang Puisi Berbicara Tentang Puisi Juga

Bahkan bahkan aku tak ingin menjadi huruf, karena huruf masih mengingatkanku pada puisi, bahkan... lalu ingin kututup buku catatanku, kurekat dengan isolatip, agar tak kukenang lagi, huruf-huruf itu yang merayu dengan matanya yang meredup sayu, bahkan... jangan sebut aku penyair, karena aku hanya debu, yang menghampiri telapak kaki-Mu Mungkin ini mungkin bukan puisi sayang, karena ia telah kupenjarakan dalam angka-angka rahasia, setelah tak mungkin lagi aku membunuhnya. tak mungkin lagi. karena ia sebagai lazarus yang terus bangkit dan bangkit dari balik kubur. maka kukunci saja ia dalam lorong rahasia. walau aku kerap merindukannya. ini mungkin bukan puisi sayang, mungkin bukan, bukan mungkin, bukan bukan, puisi mungkin, bukan mungkin, bukan? mungkin... Puisi yang Kubunuh Itu puisi yang kubunuh itu suatu ketika mendatangiku ia menyeringai dengan gigi yang tajam memburuku di tangannya yang berlaksa jumlahnya tergenggam gergaji, palu, kapak, celurit, m 16, belati, granat, dll ...

Hujan di Dalam Puisi

sebagai kenangmu pada daun daun jatuh di pelataran dan hujan yang mengingatkan pada airmata mungkin sebagai ketulusan yang mengalir menyiram ranggas rerumputan adalah aku yang menulis puisi sebagai patahan-patahan yang menyilang dalam dada sesak tak bertanda baca karena rindu tak terucap dengan kata-kata mungkin juga cinta yang tak tereja bahkan dalam puisi yang demikian sederhana demikian bersehaja tentang hujan yang diam-diam membasah di sebuah siang di musim kemarau mungkin karena demikianlah cinta mengalir menyiram ranggas rerumputan dalam dada...

Anak Anak Yang Melolong Di Malam Kelam

anak anak yang menangis dan melolong di malam kelam adalah kanak kanakmu yang tak bisa tidur sebelum menghisap bau aica aibon hingga rasa nyeri dan mimpi buruk lenyap melesat sebagai bintang yang berpendar pendar di langit tinggi sebagai harapnya yang tak pernah sampai dalam jerit desah lagu dalam serak suara dan kecrek tutup botol di bis yang pengap di kotamu yang pengap dan tak berbelas kasihan...

Membunuh Puisi

serombongan orang berbaju hitam mengiringkan pemakaman puisi yang telah kubunuh di puncak malam yang kelam yang hitam di ulu hatinya kutikam demikian dalam hingga darah membuncah hingga matanya mendelik hingga tinggal aduh hingga tinggal kulihat wajah puisi pucat pasi tak lagi berdarah karena darahnya membasah di seluruh lantai membasah meluap hingga membanjir ke jalan jalan dan orang orang berteriak gembira karena puisi telah mati di tanganku pembunuh yang kesepian dan telah kesal dengan puisi yang seperti kutuk terus mengiang di telinga terus menghantu di dalam kepala dan menyuruhku mendorongnya ke sebuah bukit dan menggulirkannya lagi seperti sebuah esei tentang peristiwa bunuh diri yang bilang sisipus bahagia dan kubunuh saja puisi karena ia rupanya bahagia

Sampai di Titik Ini

Sampai di titik ini sampai Di detik yang terus melaju Tak henti Sepanjang usia direntang Makna apa yang tereja Tak henti Membusur bayang-bayang Mungkin maut yang mengendap Tak henti Di lubuk rindu tatap matamu Lamat menyapa pada ingatan Tak henti Berjalan ke arah senja Hingga sampai di garis gelap terang Tak henti Mengeram nyeri dalam dada Karena rindu kembali rindu Tak henti Hingga kau sambut aku Dengan peluk Di hariba Cintamu Depok, 8-10 Juli 2003