Skip to main content

Posts

Showing posts from 2007

Wahai Cinta Inilah Nyeri Merindu Wajahmu!

kuhadapkan wajahku barat timur utara selatan tenggara barat laut timur laut barat daya coklat tanah biru langit menghadapmu o wajah yang dirindu dalam ingat yang lamat sebagai seru kami bersaksi o yang satu tempat segala mula tempat segala kembali tapi jarak juga waktu membentang berliku jalan menemu engkau kembali menemu senyummu kembali kuhadapkan wajahku barat timur utara selatan tenggara baratlaut timur laut barat daya coklat tanah biru langit merindu tatapmu kekasih tiba-tiba aku merasa hidupku sia-sia sebagai pecundang yang lari dari medan perang sembunyi dalam dengkur mimpi berlari dari kemestian yang harus dihadapi apa yang kucari di dunia ini karena engkaulah segala mula engkaulah segala tuju tapi aku terpelanting dalam goda dan rayu seperti moyangku dahulu demikian gaduh dalam dada dan kepalaku ditabuh segala peristiwa ramai hingga aku mengaduh menyeru namamu berulang kali aku demikian letih di mana cahaya matamu masihkah ada harap untuk menemu senyummu

ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya? Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang. Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku yang wajib dibacanya di sekolah menengah atau pada penataran-penataran. Kata ora

Hujan Sore Hari

Hujan yang turun sore hari, selalu mengingatkan aku padamu. Kau ingat tiktiknya bersama desau angin, demikian gaib, menghantarkan kita ke batas hari demikian cepat. Ah, aku tahu engkau kan segera mengatakan bahwa aku sangat tergila-gila kepada selarik puisi patah hati yang ditulis si mata merah itu: gerimis mempercepat kelam. Memang, senja tak seperti biasanya jika hujan turun sore seperti ini. Matahari di hari yang cerah jika senja akan membiaskan jingga di langit, mungkin bukan jingga, mungkin kuning keemasan. Seperti gambar di kartu pos yang kau kirimkan suatu ketika: langit di saat senja, matahari yang segera tenggelam, laut dan bayang perahu-perahu layar. Pernah suatu ketika, seorang temanku menuliskan dalam sebuah suratnya bahwa ia memotong senja untuk kekasihnya yang bernama Alina. Tapi, mungkinkah sebuah senja dipotong dan dikirimkan kepada seseorang seperti kartu pos yang kau kirimkan saat itu? Aku tahu engkau akan mengatakan bahwa segalanya adalah mungkin. Seperti sering kau

Kemarau

Sebenarnya aku tak pernah ingin menceritakan ini kepadamu. Karena tak ingin engkau menangis. Hingga telaga dalam matamu menjadi asin. Seperti laut. Mungkin akan ada badai gelombang di situ. Biarlah, tak akan pernah kuceritakan. Agar telaga di matamu seperti dulu, sejuk bening tenang yang akan kukunjungi setiap kali aku terbakar kemarau Aku menyimpan kemarau. Tak ingin kutitipkan di matamu. Karena tak mungkin engkau menanggungkan panasnya yang membakar. Hingga seperti terasa sumsum mengering. Biarlah di matamu hanya ada telaga yang akan kukunjungi setiap saat. Bila kemarau demikian bakar ubun kepalaku. Dari telagamu yang tenang dan bening kuciduk air dengan sepuluh jemari yang kurapatkan. Kusiram ke rambutku, ubun-ubun yang terbakar kemarau. Dengar desisnya demikian mengharukan. Hingga aku menangis. Dan tak ingin kau merasakan kemarau seperti ini. Kemarau yang membakar ubun-ubun kepalaku dengan demikian bengis. Pernah kumasukan kemarau ke dalam sebuah lemari es. Tapi sungguh, kemarau it

Membaca Nanang Suryadi, Menemukan Penari Telanjang

Oleh: Asep Sambodja Dalam kumpulan sajak Nanang Suryadi yang kelima, Telah Dialamatkan Padamu " (Dewata Publishing, Jakarta, 2002), kita bisa menemukan bait pembuka dalam sajak " Intro ", aku tak mengerti, katamu/ pada sajak banyak ruang terbuka , sebagai isyarat dimulainya pembacaan sajak-sajaknya yang terhimpun dalam buku ini. Bukan saja untuk mengungkap misteri dari sajak-sajak yang terdapat dalam kumpulan sajak ini, karena pembaca sastra tidak melulu sebagai pengejar amanat, melainkan juga mengikuti petualangan yang mengasyikkan bersama penyair dalam memainkan kata-kata hingga pada sajak terakhirnya yang berjudul " Epilog ", yang dua bait terakhirnya berbunyi Demikianlah, sunyi tak terbagi/ Milikku sendiri . Ada semacam rekayasa yang dihadirkan sang penyair (agar pembaca mau) untuk menemaninya bertualang di lautan kata-kata, belantara kata, samudera kata, bahkan gurun kata-kata yang sunyi sepi. Dan petualangan itu merupakan proses yang memperlihatkan penca

Baca Sajak di Kafe Mahasiswa

BUKU kumpulan sajak karya Nanang Suryadi (30) berjudul Telah Dialamatkan Padamu (2002), Rabu (4/6) malam dibacakan di sebuah kafe mahasiswa di Kota Malang. Jika menilik muatan sajak yang dikandungnya, sebetulnya memiliki aliran Sufi yang sangat pelik dan personal, tetapi tetap saja puluhan pasang mata mahasiswa mau berusaha menikmatinya. Kafe yang bernama Kafe Gama letaknya berimpitan dengan dinding batas sebelah barat kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) itu berhasil memberikan wacana kesenian yang modern. Khususnya bagi kalangan masyarakat generasi terdidik diharapkan jalan hidupnya penuh apresiasi dan ekspresi seni. Nanang pun secara sederhana mengungkapkan, latar belakang tulisan-tulisan sajaknya itu sebagai proses dirinya di dalam pencarian Tuhan. Dan, setiap orang sudah atau hendaknya melakukan hal itu. Dalam sajak-sajaknya diungkapkan kedekatan dan keinginannya menyapa Tuhan. Sesuatu yang terbayang, para Sufi atau ahli ilmu tasawuf di dalam Islam, atau secara umum dika

Sajak Liris dan Lingkar Bayang Struktural Sejarah

Judul buku : Telah Dialamatkan Padamu, Sepilihan Sajak Nanang Suryadi Penulis : Nanang Suryadi Penerbit : Dewata Publishing Cetakan : I, 2002 Tebal : 111 halaman. Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Nanang Suryadi, juga salah satu penyair yang muncul saat ini, tak luput dari persoalan referensi semacam itu. Strukturalisme sejarah kepenyairan suatu bangsa, negara, dan dunia tak akan berhenti, selalu ada garis-garis yang menghubungkan. Gerbang perpuisian yang telah dibuka secara konsep oleh seorang Amir

Antropomorfisme

ketika penyair itu bertamu ia membayangkan lengan kursi itu memeluknya seraya bercerita tentang kaki langit yang jenjang hingga pelangi berjuntai-juntai menyentuh kaki gunung dan mulut gua menjadi nganga terkagum-kagum dan menepuk bahu jalan yang menggelendot manja di dekat ngarai itu

Personifikasi Matahari, Hujan, Tiang Listrik

beri aku puisi, katamu suatu ketika. matahari malas mendengar kata-katamu, ia segera pergi ke balik malam. dan hujan yang tiba-tiba marah mencurahkan dingin ke kepalamu, seraya berteriak: inilah puisi. tiang listrik tertawa-tawa, mungkin lucu rasanya: penyair minta puisi. puisi? dimana kiranya. mungkinkah puisi sedang sakit dan sekarat. sehingga ia tak pernah datang. seperti dulu, mengetuk-ngetuk jendela tak siang tak malam tak petang tak subuh. beri aku puisi, katamu. kepada siapa. entah siapa.

Metafora

adalah mimpi-mimpimu yang tersangkut di dahan kata-kata dan orang menyebutnya puisi adalah embun yang tiba-tiba menggantung di pelupuk mata penamu tak henti menari karena, engkau adalah .....

hopla!

aku pungut puing puisi dari segala kenang yang membayang aku pungut puing kata dari segala tawa yang meluka inikah teka teki membilang huruf di anagram nasib hopla! siapa itu menari?

Sejenak, Komentarku

Kali ini Nanang Suryadi tampil dengan puisi yang menukik kepada diri pada usia ke 34, catatan cinta untuk kh, isteri dan kepada putri tercinta Cahaya Hastasurya. Saking cintanya maka dilakukan "muhasabah" satu unsur penting bagi rohaniah pemeluk. Saya amat senang dengan ekspresi yang mengalir nyaman, komunikatif tapi puitis. Kalau dirujuk kepada tradisi masterpiece dunia baik dari Chairil, Amir Hamzah, Usman Awang, Pablo Neruda dan Garcia Lorca maka puisi sejenis ini yang tetap evergreen dan abadi. Itu "Aku", "PadaMu Jua", "Mata Ayah", "Love" dan "Perempuan Tak Setia" amatlah indahnya, bukan? Perhatikan ungkapan Nanang, dia tidak memaksakan sesebuah ideologi atau dengan meneriak hebat dengan bombasme diksi, tapi diungkapkan dengan penuh cinta dan puitis. Katanya "jarum yang menunjuk/menelusur ke dada hibuk" dan jam memutar kembali "ke awal mula jadi". Hidup itu aneh sesuatu yang sulit dimengerti, tapi

Syair Makrifat

Menulis syair tak kunjung tamat Karena tak sampai puisi pada makrifat Menulis syair tak kunjung tamat Karena tak sampai kata pada hakikat Bagaimana cara membilang diri akan selamat Jika syair tak mencapai alamat Bagaimana cara membilang syair terhebat Jika dhaif diri di depan sang maha dahsyat Bagaimana diri akan mencapai hakikat Jika tak kuasa diri menempuh syariat Bagaimana diri akan mencapai syariat Jika lalai hayat mencerna ayat Inilah syair makrifat Menasihati diri agar tak laknat Malang, 22 Agustus 2007

Syair Nasihat Untuk Anak Tersayang

Untuk puteriku: Cahaya Hastasurya Kanak disayang disayangsayang Besarlah kanak tak lupa mengenang Kanak disayang disayangsayang Tidaklah lupa nasihat tuk sembahyang Berdoalah kanak berdoalah sayang Siang malam pagi dan petang Doakan ampun ayah bunda tersayang Agar hidup terasalah lapang Inilah syair untukmu sayang Agar hidup terasalah tenang Inilah nasihat untukmu sayang Sebagai syair menemu dendang Malang, Agustus 2007

Hidup Yang Kita Syukuri

;kh hidup yang kita jalani, hidup yang kita syukuri dengan tawa atau tangis melebur dalam cinta sang maha cinta hidup yang kita beri arti, hidup yang kita syukuri dengan riang canda atau airmata menabur cinta ke dada cahaya hidup yang kita jalani, hidup yang kita syukuri dengan suka atau luka menelusur jejak cintanya semata, karena cintanya

Tahun Ketiga Puluh Empat

;ns apa yang kau ingat mungkin kematian yang kian mendekat jarum jam menunjuk membusur ke dada hibuk telah berapa jejak yang kau buat hingga sampai pada alamat putaran waktu berulang kembali berputar ke awal mulai jadi akankah engkau menengadah atau tertunduk kalah karena demikianlah hidup memberi arti pada yang tak kau mengerti karena demikianlah hidup sesuatu yang sukar kau mengerti dan ingin kau beri arti Juli, 2007

dan

dan jiwa yang sedang bergejolak itu mendidihkan kenangan-kenangan hingga matang puisi di tungku jiwamu hingga waktu menghela kereta mimpi ke segala tak berbatas nafasmu

tanah air api udara

tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udaratanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udaratanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara tanah air api udara ta

Dongeng Sisiphus Buat Ook

akulah sisiphus katamu menggelinding sepanjang pagi hingga malam di jalanan ibukota. tapi aku bahagia, tapi aku bahagia. seperti kudengar ada yang menderaskan airmata di dalam guci puisi. seguci puisi keteguk demi seteguk hingga airmatamu mendarah di nadi puisiku malam ini karena aku telah menjelma sisiphus menggelinding sepanjang pagi hingga malam di sini. tapi aku sunyi, tapi aku sunyi dan kuteguk seguci puisi, hingga.....

mengapa kau rindu puisi yang tak juga merindu dirimu

mengapa kau rindu puisi sedang puisi tak juga merindu dirimu serupa bulan merindu pungguk di malam benderang mengapa kau rindu puisi sedang puisi tak juga merindu dirimu serupa waktu tak pernah menunggu mengapa kau rindu puisi sedang puisi tak juga merindu dirimu serupa khafilah yang tak hirau gonggonganmu mengapa kau rindu puisi sedang puisi tak juga merindu dirimu serupa aku yang memburu tak juga bertemu diriku

adalah waktu

adalah waktu yang berdering hingga puisi menyaring adalah mimpi yang bertadah hingga lamun menyerah adalah dada yang bertabuh hingga sepi menggaduh adalah engkau yang menyeru hingga aku menemu

Pinjam Celana

:jokpin aku pinjam celana sebentar, aku ingin menulis puisi tentang senja, mungkin juga tentang sebuah celana, yang aku pinjam, senja ini sebentar saja "tapi celanaku telah usang, nanang aku pinjamkan rambut saja, mau?" rambut? rambut siapa yang bertumbuhan di halaman tubuhmu disisir hujan tak henti merindu "hahaha, pakai payung dong!" ya, ya, rambut kehujanan menggigil tanpa payung dan celana

Apa Kabar Apa

:ook nugroho apa kabar, kata sebuah suara, masih menulis puisi? aih, mengapa aku menjadi mabuk begini tak ada siapa di sini kabar apa, kata sebuah puisi, masih mencari suara? o, mengapa aku perih begini tak ada puisi dunia gaduh ramai, tapi sepi lagi lagi sepi di dalam sini

Kota Yang Tenggelam

:jakarta adakah yang ingin kau tanyakan, pada deras hujan tapi mungkin cemas telah kehilangan tanya, juga kata "kota yang tenggelam, kota yang tenggelam" ada suara bergema di dalam kepala adakah yang ingin kau tanyakan, pada deras alir mengalir tapi mungkin takut telah kehilangan tanya, juga kata "kota yang tenggelam, kota yang tenggelam" ada bisik tak berhenti di telinga adakah yang ingin kau tanyakan, pada: suara-suara