Skip to main content

Sajak di Kampung dan Kafe-kafe

Dalam jagat Internet, sastra tumbuh menjadi sesuatu yang tak angker. Belum menghasilkan karya yang cemerlang, tapi orang jadi tak sungkan menulis sajak, cerpen, atau esai—sebagian bahkan sudah diterbitkan menjadi buku. Inilah kisah seputar aktivis sastra cyber.

SUATU hari pada tahun 2000. Di sebuah warung Internet di Depok, Gratiagusti Chananya Rompas duduk mencangkung di depan komputer. Tangannya memencet-mencet papan tombol, mengisi kolom-kolom pada tampilan Yahoogroups. Anya, begitu ia biasa dipanggil, belum lama kenal Internet. Tetapi ia tahu, di ranah maya ini bisa terbentuk ruang diskusi. Ia memilih Bunga Matahari sebagai nama milis.

Selama beberapa waktu, milis itu hanya beranggotakan dua orang. Anya dan temannya, Danar Pramesti. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Indonesia penyuka puisi. Bunga Matahari semula mereka bangun sebagai ajang rendezvous pertukaran puisi antar-mereka. ”Sebelum di milis, kami tuker-tukeran puisi kalau ketemu di kampus,” kata Anya.

Kini, enam tahun kemudian, Danar sudah bekerja di bidang periklanan. Dan Anya baru saja kelar kuliah S2-nya di Universitas Stirling, Skotlandia. Kedua sahabat itu tak berubah, tetap menulis puisi. Tetapi yang tak sama lagi adalah milis Bunga Matahari (Buma). Jumlah anggotanya kini sekitar 600 orang. Belum lama ini Buma meluncurkan kumpulan puisi pertama mereka, Antologi Bunga Matahari.

Jangan cari penyair bernama dalam buku itu. Tak ada Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau Acep Zamzam Nor. Para penulis Buma tak pernah dikenal di dunia sastra tanah air. Kebanyakan bahkan menggunakan nickname—Pepsi-_golda, Sihirhujan, Skeptical_jo, Yohihup, Stormix_jungle, Bercaspa, Redi@nfield, plus sederet nama ajaib lainnya. Datang dari manakah ”makhluk-makhluk” itu? Pada halaman identitas penulis, terungkap bahwa kebanyakan mereka adalah kalangan profesional: perancang grafis, periklanan, perbankan, staf manajemen artis, konsultan arsitektur, otomotif, aktivis LSM, ada juga pemain band.

l l l

PUISI dan sastra tiba-tiba menjadi akrab. Di ranah Internet, sastra menjadi membumi. ”Saya pertama kali belajar menulis puisi di Buma. Makin sering nulis, makin ingin terus belajar,” kata Festi Noverini, seorang peserta milis yang bekerja di kantor manajemen artis. Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku itu menyebut gejala ini sebagai keberhasilan sosialisasi sastra. ”Prestasi sosialisasi sastra tercapai ketika kesan sastra (sebagai sesuatu) yang kurang gaul dihancurkan. Sastra menjadi sesuatu yang sehari-hari saja,” katanya.

Kata kuncinya adalah komunitas. Selain berinteraksi di milis, Buma juga memiliki Kebun Kata—acara bulanan pembacaan puisi yang digelar di kafe-kafe. Selain Buma, ada pula milis sastra lainnya seperti Penyair, Bumi-manusia, Puisi Kita, Gedong Puisi, Musyawarah Burung, Apresiasi Sastra, Cerpen Indonesia, Sastra Pembebasan, dan sebagainya.

Perjalanan milis Penyair cukup unik. Semula milis- ini ”dimiliki” dan dimoderatori Nanang Suryadi, seorang penyuka puisi dari Malang. Belakangan, milis ini dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS), lembaga yang didirikan sesama aktivis milis.

Soal peralihan ”kepemilikan” ini, ada ceritanya. Awalnya ada posting dari seorang anggota milis yang minta dukungan dana agar bisa berangkat ke Amerika Serikat. Ia baru saja menang dalam sebuah kompetisi penulisan puisi- di sana. Tapi duit cekak. Perserta milis lainnya trenyuh.

Maka, bertemu daratlah beberapa anggota yang sebelumnya tak saling kenal. ”Akhirnya kita sepakat membentuk suatu badan yang bisa mengayomi bakat-bakat muda seperti ini,” kata Medy Loekito, mantan Presiden YMS. Lembaga inilah yang kemudian mengelola milis Penyair, situs Cybersastra.net, dan menggelar berbagai kegiatan sastra. Dari sini komunitas terbentuk.

Mei 2001, komunitas ini meluncurkan antologi puisi pertama mereka, Graffiti Gratitude: Sebuah Antologi Puisi Cyber. Pada saat itu ikut pula diperkenalkan situs Cybersastra.net kepada khalayak. Sejumlah kalangan menyebut momentum ini sebagai semacam ”proklamasi” sastra cyber.

Tahun-tahun berikutnya, YMS kembali menerbitkan antologi dari beberapa genre sastra. Misalnya: Cyber-Graffiti (kumpulan esai), Graffiti Imaji (antologi cerpen-pendek), Les Cyberlettres (puisi), dan Cyberpuitika (lihat, Hutan Kata dari Internet).

Seperti Buma, anggota komunitas milis Penyair datang dari pelbagai kalangan. ”Saya kira lebih dari 60 persen anggotanya dari kalangan profesional,” ka-ta Yono Wardito, Presiden YMS yang menggantikan Medy Loekito. Yono adalah eksekutif di bidang teknologi informasi di Balikpapan. Hingga pertengahan Februari, anggota milis Penyair sekitar 2.600 orang.

Milis lainnya adalah Apresiasi Sastra (Apsas). Dijaga oleh sembilan moderator, secara rutin mereka menggelar pembahasan karya-karya anggotanya secara online. Tidak hanya itu, Apsas juga menggelar berbagai workshop yang berkaitan dengan dunia kata-kata.

TAK semua orang bisa menghargai komunitas sastra Internet ini—meski harus diakui kualitas pu-isi atau prosa mereka banyak yang biasa-biasa saja. Sutardji Calzoum Bachri mengkritik keras mutu sastra cyber pada peluncuran Graffiti-Gratitude tahun 2001. Penulis Ahmadun Y. Herfanda di sebuah koran Ibu Kota mengibaratkan sastra cyber sebagai tong sampah. Resistansi masih berlanjut ketika Antologi Puisi Digital diluncurkan pada 2002. Beberapa penyair di Yogyakarta dan Bandung memandang skeptis. Tapi ini tak menciutkan nyali penggiat sastra cyber. ”Puisi adalah milik semua orang,” kata Anya. ”Ini milis asyik-asyik saja, kok. Yang penting teman-teman merasa pede menulis puisi.”

Menurut penulis Linda Christanty, pada dasarnya setiap orang ingin menulis puisi. ”Lalu setelah itu se-lalu ada keinginan untuk berbagi,” kata pengarang- kumpulan cerpen Kuda Terbang Mario Pinto ini. Linda bersama Eka Kurniawan adalah pendiri mi-lis Bumi Manusia (lihat, Sejumlah Oasis Sastra Vir-tu-al-)-.

Sejatinya, milis sastra dipergunakan untuk mewadahi hasrat penulis yang karyanya tak lolos terbit di media cetak. Selain itu, menurut Saut Situmorang, penulis Yogyakarta, sastra ini menjadi ”perlawanan” terhadap media cetak yang kerap menjadi ”pembaptis” para penulis. Mereka yang karyanya pernah muncul di koranlah yang berhak menyebut diri penyair atau penulis. Jika lahan koran hanya bisa memuat lima dari 1.000 puisi yang masuk, ”Tidak berarti 995 puisi lainnya itu sampah, kan?” kata Medy Loekito.

Tumbuhnya komunitas sastra ini disambut gembira Jamal D. Rahman, seorang pekerja harian di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Menurut dia, komunitas yang menyandarkan kegiatannya di dunia maya itu membuka kemungkin-an bagi sosialisasi sastra lebih jauh. Berbagai milis sastra dan situs sastra baginya adalah medan di mana orang-orang bisa saling berekspresi melalui sastra. ”Karya sastra yang dulu terasing menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat kita,” katanya.

BICARA sosialisasi sastra, sebuah cerita datang dari Desa Ciloang, Serang, Banten. Di lahan seluas 1.000 meter, di kompleks Hegar Alam, ada sebuah komunitas yang menjadikan kesusastraan aktivitas sehari-hari. Inilah Rumah Dunia, yang dirikan pasangan suami-istri Heri Hendrayana Harris (Gola Gong) dan Tias Tatanka.

Rumah Dunia, yang didirikan pada 1990-an, melatih anak-anak desa menulis. ”Mereka dilatih menulis puisi dan jurnalistik,” ujar Gola Gong. Selain itu-, ada pula latihan teater dan seni rupa. Semua gratis.

Untuk menggerakkan aktivitas itu, Gong dibantu sahabat-sahabatnya, antara lain Toto St. Radik, Firman Venayaksa, Qizink La Aziva, Ade, Piter Tamba, Indra Kesumah, Ibnu Adam Avicena, dan Deden. Hasilnya, lumayan. Dalam tiga tahun terakhir, beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen pernah diterbitkan Rumah Dunia. ”Mereka jadi lebih percaya diri,” kata Gola Gong.

Gagasan mendirikan Rumah Dunia berawal ketika Gola Gong kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, 1982. Idenya terkesan muluk: mereka ingin terlibat dalam perubahan masyarakat. ”Saya bukan yang paling berkemampuan secara finansial, tapi saya terdorong untuk memulai.”

Maka, dengan modal perpustakaan milik ayahnya. Harris Sumantapura, seorang pensiunan guru, dimulailah langkah itu. Tekad itu disokong oleh Tias Tantaka. Rumah Dunia kini menjadi semacam padepokan bagi mereka yang ingin menggeluti sastra dan kesenian. Mereka datang dari berbagai kalangan. Termasuk guru-guru setempat yang ingin meluaskan wawasan dalam bidang tulis-menulis, seni rupa, dan teater.

Rumah Dunia terus bergerak. Sebuah perhelatan yang diberi tajuk Ode Kampung, Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara, awal Februari lalu, menjadi arena mengasah kemampuan menulis dan bersastra. Ada diskusi, ada pula pembacaan puisi dan pentas kesenian. Pelbagai penulis diundang, di antaranya Gus tf. Sakai (Payakumbuh), Isbedy Stiawan Z.S. (Lampung), Saut Situmorang (Yogya-karta), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), dan Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta). Selain itu, datang pula 12 mahasiswa dari Universitas Sriwijaya.

Hujan sesekali mengguyur arena acara. Tetapi itu tak mampu membendung keakraban yang tumbuh di antara seniman dan masyarakat sekitar. Tidak ada jarak. Semua merasa ”Ode Kampung” adalah wujud keprihatinan bersama: jalanan yang rusak, harga gabah yang rendah, lampu penerangan jalan yang byar-pret, dan budaya mem-baca yang sangat kurang. Dari Bu-nga Matahari hingga Rumah Dunia. Sastra menyusup dari kafe gemerlap hingga kampung-kampung.

sumber: Tempo

Comments

Popular posts from this blog

Aku Merindukanmu

aku merindukanmu, tapi jarak dan waktu mengurungku o mata, siapa simpan kesedihan di situ, dalam bening sedu sedan tertahan, dalam dada aku merindukanmu, kau harus percaya itu seperti kau tahu, yang merindu menunggu saat memburu tuju!

Contoh Puisi Post modern dan Post colonial

DONGENG HANTU DI KOTA SAJAK Buat: penyair w hantu telah meledakkan mimpi kota kota di malam malam panjang mengerikan sebagai teror yang dicipta dalam koran dan televisi dan film holywood di mana tak ada rambo atau james bond yang mampu mencegahnya karena kesumat telah menjadi seamuk mayat yang dibangkitkan dari kuburnya dengan dendam dan belatung dari borok luka yang penuh darah dan nanah gentayangan menghampiri sajak yang penuh kegelapan bahasa yang telah menjadi sulapan dari dunia kegelapan menghantuimu dengan mulut mulut nganga berbau busuk propaganda tak henti henti dari botol botol minuman impor berlabel franchise formula dan resep paha ayam bumbu tepung menyerbu lambung kanak kanakmu sebagai sampah yang dilesakan ke dalam lapar negara negara dunia ketiga yang mabuk bahasa iklan dan ekstasi yang menjungkirbalikan kepala hingga di bawah telapak kaki para monster yang telah menciptakan frankenstein dan domba dolly berkepala manusia di pesta pora membunuh angka angka data statistik

Puisi Terbaik di Indonesia

"Puisi Terbaik di Indonesia" , saya memberi judul tulisan ini. Mengapa tulisan ini harus diberi judul "Puisi Terbaik di Indonesia?" Saya tergelitik dengan hasil pencarian di google.com yang menunjukkan hasil yang membuat saya tertawa, karena ternyata banyak orang mencari puisi dengan keyword: "Puisi Terbaik"; "Puisi Bagus"; "Blog Puisi Bagus" ; "Kumpulan Puisi Terbaik" ; "Contoh Puisi bla...bla...bla..." dan seterusnya. Saya ingin iseng-iseng menulis dengan judul: " PUISI TERBAIK DI INDONESIA ," sebagai judul tulisan ini. Siapa tahu, anda pun akan tertawa bersama saya, setelah mengklik tulisan berjudul "Puisi terbaik di Indonesia" ini dari halaman satu google. Hidup Puisi Terbaik di Indonesia ! Hehehehe. Kena deh! Jika ingin baca puisi saya, sila ditengok juga: Puisi Universitas Brawijaya  Nanang Suryadi Lecture UB Web Nanang Suryadi