Aku menyapa dipati ukur yang sedang lari pagi, hai sudah berapa putaran? Keringatnya menetes, udara segar selepas hujan tak membuat keringatnya segera mendingin. Ayo sarapan dulu, lontong sayur pojok monumen, bubur ayam atau kupat tahu. Dipati ukur tersenyum. Aku seperti juga melihat dia bersama teuku umar, hasanudin, surapati, diponegoro berlari menuju arah gedung sate.
"Aku telah menemukan obatnya," ujar lelaki di depanku, menyantap cimol dan cilor dengan lahap. Aku menerka dia yang dipanggil pasteur. Segala hama, bakteri dan virus terperanjat karena aku mengenali namanya.
"Jangan lupa ke braga, kita menjenguk kenangan di sana," seorang turis lelaki belanda berkata kepada perempuan di hadapannya. Mungkin dia juga ingat sukamiskin, wastuskencana, tamansari dan cihampelas.
"Aku ingin mandi di cikapundung yang jernih airnya. Setelah bermain kita di hutan huta dago," perempuan tua, seperti turis, tapi menyimpan masa lalu: harum cemara dan pucuk daun teh.
Aku bertemu nama nama wajah wajah dari masa lalu, di sepanjang jalan.
"Didago dago dipikamelang dipikaasih Sangkuriang ngabandungan. Ambu ambu, simkuring ngariung di lembang di tangku parahu,"
Aku meneteskan airmata seperti tumang mengingat maut, anaknya dan dayang sumbi.
Indonesia, 2017
Comments
Post a Comment